TOKOH WAYANG YANG SAYA IDOLAKAN
YUDHISTIRA
SEKILAS TENTANG YUDHISTIRA
Yudistira (
Dewanagari: युधिष्ठिर;
IAST:
Yudhiṣṭhira) alias
Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam
wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah
kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima
Pandawa, atau para putra
Pandu. Dalam tradisi
pewayangan, Yudistira diberi gelar
prabu dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama
Kerajaan Amarta.
Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran
agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam
Mahabharata terutama dalam hal memainkan
senjata tombak
ETIMOLOGI
Nama
Yudistira dalam
bahasa Sanskerta bermakna “teguh atau kokoh dalam peperangan”. Dalam kitab
Mahabharata, ia juga disebut dengan nama
Bharata[1] (keturunan Maharaja
Bharata) and
Ajatasatru[2] Ia juga dikenal dengan sebutan
Dharmaraja, yang bermakna “raja
Dharma“, karena ia selalu berusaha menegakkan
dharma sepanjang hidupnya.
KELAHIRAN
Yudistira adalah putera tertua pasangan
Pandu dan
Kunti. Kitab
Mahabharata bagian pertama atau
Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh
brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang
bersanggama dalam wujud sepasang
rusa.
Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak
ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu
meninggalkan tahta
Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu
Kunti dan
Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai
mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil
dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan
Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui
persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung
Pandu, sebagai hasil pemberian
Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Kisah dalam
pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana
Hastinapura. Kedatangan
Bhatara Dharma
hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya.
Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun
Kunti.
Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan
nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi
ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang
merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu
menegakkan kebenaran.
MASA KECIL DAN KELAHIRAN
Yudistira dan keempat adiknya, yaitu
Bima (Bimasena),
Arjuna,
Nakula, dan
Sadewa kembali ke
Hastinapura setelah ayah mereka (
Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para
Pandawa, yang semua lahir melalui mantra
Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para
Korawa yang dipimpin
Duryodana merasa cemas. Putera-putera
Dretarastra
itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan
berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama
Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha
untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari
ilmu agama,
hukum, dan
tata negara daripada
Resi Krepa.
Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling
pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan
kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu
perang kepada
Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini,
Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu
memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan
senjata tombak.
Saya menyukai tokoh wayang yudhistira ini karena
Orangnya pendiam tidak banyak bicara. Kalaupun berbicara tidak
banyak direkayasa supaya menarik perhatian orang. Ia sabar, jujur dan
adil serta pasrah dalam menghadapi cobaan hidup. Dialah yudhistira.
Karena jujur dan sabar harus disertai kesumerahan, maka ia mampu
memenjarakan nafsu. kesabaran tanpa kesumerahan belum dapat dikatan
sabar. Untuk melukiskan sejauh mana kesabaran dan kesumerahannya,
dijelaskan dalam kisah sebagai berikut: ketika itu Pandawa sedang berada
di hutan Kamiaka. Merek sedang menjalani hukuman buang selama 13 tahun
akibat tipudaya kaum Kurawa. Lapar dan dahaga serta bahaya yang setiap
saat mengancam merupakan derita yang amat sangat. Tetapi berkat
keteguhan dan ketabahan serta tak putus-putus berdoa kepada Hyang Maha
Tunggal kesemua itu dapat diatasi.
“Hemm, sampai kapan derita ini akan berakhir, si Duryudana *******
itu semakin besar kepala,” geram Bima, “Baru tujuh tahun Sena. Tinggal
enam tahun lagi, sabarlah dik,” Yudhistira menghibur. “Kalau saja aku
diberi ijin kakang Yudhis, sekarang juga aku gedor si laknat itu,” kata
Bima penuh nafsu.
“Tulisan neraca Maha Agung tak dapat diubah lagi. Andaipun kita
bertindak, tetapi tidak akan merubah nasib, dik. Malapetaka ini harus
kita jadikan pelajaran untuk memperkuat jiwa dan pikiran agar siap
menghadapi segala tantangan hidup,” ujar Yudhistira. Sabar dan
kesumerahan Yudhistira membuat adik-adiknya tunduk tak berani membantah.
Pada suatu hari terjadi musibah menimpa keluarga Pandawa. Arjuna,
Nalu dan Sadeewa ditemukan ajal setelah minum air kolam di tengah hutan
itu. Rupa-rupanya kolam itu ada penunggunya. Dengan perasaan sedih
Yudhistira berkata: “Duh, dewta, siapa yang tega mencabut nyawa
adik-adikku. habislah harapanku untuk merebut negeri Astina. Dinda
Arjuna, kaulah andalan kami, tapi kini kau telah pergi untuk
selama-lamanya. Apa dayaku,” ratapnya.
Tak lama kemudian terdengar suara tanpa rupa: “Mereka mati karena
minum air kolam. Peringatanku tak dihiraukan.” “Oh, siapakah tuan?”
tanya Yudhistira. “Aku penunggu kolam. Saudaramu tak menghiraukan
peringatanku untuk tidak minum air itu,” jawabnya.
“Hamba mohon maaf atas kelancangan adik-adik hamba. Jika memang
kematiannya sudah kehendak Hyang Pinasti, hama relakan. Tetapi jika
kematiannya belum waktunya, sudi kiranya tuan menolong menghidupkannya
kembali,” pintanya. “Aku bersedia menghidupkan salah seorang diantara
mereka, asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku,” kata suara
itu.
“Hamba akan menurut kehendak tuan, Silahkan tuan bertanya barangkali
hamba dapat menjawabnya,” “Baik, dengarkan. Pertanyaan pertama: Siapa
musuh yang paling gagah suka membunuh tapi sukar dilawan?”
Menurut hamba musuh yang paling gagah adalah hawa nafsu yang
bersemayam di dalam diri sendiri. Ia suka membunuh apabila diperturutkan
keinginannya. Ia sukar dilawan jika iman ikta lemah,” jawab Yudhistira.
“Jawabanmu benar. Sekarang pertanyaan kedua: Yang bagaimana orang yang baik itu dan bagaimana orang yang buruk itu?”
“Menurut hamba orang yang baik adalah orang yang berbudi luhur mau
menolong yang susah dan kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan orang
yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas kasih dan tak
berperikemanusiaan.”
“Benar, sekarang apakah yang tinggi ilmu itu
orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, atau orang alim atau karena
keturunan?”
“Menurut hamba orang yang berilmu tinggi bukan karena ia
pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi tetapi kalau
pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan bukan
pula orang baik,” jawabnya.
“Jawabanmu semua benar. Sekarang pilih
salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali,” kata suara itu.
Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati
Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu. dia merupakan andalan jika ada
kerusuhan. Tapi pilihan itu segera hilang dari ingatannya, manakala
pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu.
Jikawa memilih Arjuna. selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil.
Maka akhirnya pilihan jatuh kepada Nakula yang segera ia sampaikan
kepada si penunggu kolam. “Hamba memilih Nakula, tuan.” “Mengapa engkau
memilih Nakula. Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu,
lagi pula seibu?” tanya suara itu.
“Bagi hamba bukan soal penting atau tidaknya, tetapi keadilannya.
Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba akan sama-sama merasa
senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sedangkan dari ibu Madrim
kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil,” jawab Yudhistira.
“Benar-benar engkau kekasih Yang Manon. Kau manusia berbudi luhur,
sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau lebih berat kepada adil
dari pada kasih sayang?” tanyanya lagi.
“Sebab adil harus jauh dari sifat serakah. Jika hanya kasih atau
sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar membenarkan yang salah.
Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih, yang dilihat hanya
bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran mengaburkan
penglihatan,” Yudhistira menegaskan pendiriannya. Suara itu tak menjawab
lagi, sebagai gantinya Batara Darma, dewa keadilan, telah berdiri di
hadapan Yudhistira seraya bersabda: “Anakku, engkau benar benar
mustikaning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan
kembali,” tukasnya, yang tak lain adalah suara yang tanpa rupa tadi.
Betapa gembirannya Yudhistira dapat berkumpul kembali dengan
adik-adiknya. Kemudian mereka melanjutkan pengembaraannya menyusuri
hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Yudistira
http://mayzaksta.blogspot.com/2013/02/nama-tokoh-wayang-dan-wataknya.html
http://forum.detik.com/wayang-yudhistira-lambang-manusia-sabar-dan-adil-t891.html